Sejarah Desa

26 Agustus 2016
Administrator
Dibaca 214 Kali
Sejarah Desa

Desa Nongan terletak di kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali dengan ketinggian 450 – 500 meter di atas permukaan laut. Jika anda berangkat dari kota Denpasar, maka anda harus menempuh jarak sekitar 60 Kilometer dengan waktu tempuh sekitar 90 menit. Suasana pedesaan yang asri dan sejuk akan langsung terasa ketika anda memasuki desa ini. Jika anda melihat kearah utara dari Desa Nongan, maka keindahan Gunung Agung yang menjulang tinggi akan menjadi pemandangan yang sangat menarik untuk disaksikan. Desa Nongan berbatasan dengan Desa Rendang di sebelah utara, desa Bangbang dan kabupaten Bangli di sebelah Barat, Desa pesaban di Sebelah Selatan, serta desa Sangkaan Gunung (kecamatan Sidemen) di sebelah timur.

Sektor pertanian dan perkebunan di desa Nongan didominasi oleh tanaman Salak Bali, Kelapa, Padi, dan umbi-umbian. Di sektor Industri, masyarakat kebanyakan membuka usaha di bidang Jajanan tradisional, dan Jasa. Hubungan antar masyarakat yang begitu erat dapat disaksikan melalui kegiatan sehari-hari seperti olahraga sore bersama, gotong royong, dan saling tolong-menolong ketika ada tetangga yang membutuhkan.

Ada beberapa pendapat mengenai asal mula desa ini dinamakan “Nongan”. Menurut pernyataan para tokoh desa dan masyarakat desa Nongan dan dengan disertainya bukti-bukti tulisan berupa babad, silsilah keluarga atau keturunan, prasasti dan tulisan yang berupa penelitian yang ada hubungannya dengan desa pakeraman Nongan, maka sejarah desa Nongan dapat dijabarkan sebagai berikut:

Seperti yang tertulis pada babad dalem tarukan, sekitar tahun 1399 Masehi, si debelah timur Nongan terdapat desa yang bernama desa Kwanji Kuna.  Disana ada seorang penglisngsir(tetua  desa) keturunan dalem tarukan yang bernama Ni Gusti Luh Kwanji bersama dengan keponakan beliau yang bernama I Gusti Gede Sekar yang menjaga wilayah tersebut. Selanjutnya diceritakan I Gusti Gede Sekar pergi dari Kwanji dan tinggal di banjar Sekar Nongan.

Prasasti pande Besi Gujaga yang dicetuskan oleh raja gelgel pada hari jumat Kliwon wuku watugunung tahun saka 1327/1405 Masehi di wilayah desa Nongan sudah ada kehidupan masyarakat yang telah hidup atau tinggal di wilayah utara Nongan sampai Peringalot Rendang yang wilayahnya dinamai Bujaga. Berdasarkan prasasti tersebut di wilayah Bujaga pada saat itu terdapat seorang penglingsir yang berkuasa yaitu I Bendesha Adat Bujaga.

Diperkirakan sebelum tahun 1779 Masehi, di wilayah Nongan sudah mempunyai seorang raja yang bernama I Gusti Nyoman Rai yang diperintahkan olah I Gusti Nengah Sibetan yang mewakili raja Karangasem bagiab Barat bukit yang tinggal di desa Selat akan menguasai desa Nongan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peninggalan berupa tulisan di Gandawari Bale Pelik di Merajan Raja Nongan bertepatan dengan dimulainya upacara “Ngenteg Linggih”. Diasana tertulis angka tahun 1779 Masehi.

Pada tulisan “Sekelumit Sejarah Keturunan Dari Lie Sing Wat” dikatakan sekitar tahun 1824 Masehi di desa Nongan sudah ada warga keturunan TiongHoa dari Lie Sing Wat yang diperintah oleh raja Karangasem untuk membantu Raja Nongan I Gusti Nyoman Rai menjaga batas wilayah Karangasem. Hal ini diperkuat oleh penelitian Sugi Lanus yang yang membicarakan tentang keturunan dari Lie Sing Wat di Nongan yang selanjutnya berkembang menjadi Masyarakat keturunan Tiong Hoa di Desa Lampu dan Kembang Sari, Kabupaten Bangli.

Berdasarkan penuturan penglingsir di wilayah Desa yang dari dulu telah tertanam kepercayaan turun temurun tentang “Nongan”, Nongan berasal dari kata “Neng” yang berarti tinggal/diam, kosong, yang telah digarap atau belum pernah digarap. “Nengan” yang berarti tanah/wilayah yang kosong/ belum digarap. Oleh karena itu, dipercayai bahwa wilayah desa Nongan tidak ada yang memiliki batas kerajaan atau perebutan wilayah diantara kerajaan karangasem, Klungkung, dan Bangli.

Ketut Adi Wiguna di dalam Thesisnya membicarakan tentang “Nongan”. Dikatakan bahwa kata Nongan berasal dari kata “Naung” yang memperoleh akhiran “-an” menjadi “Naungan ” yang berarti mendapat pengayoman. Lama kelamaan , kata Nanungan berubah menjadi “Nongan” dikarenakan suara ‘a’ dan ‘o’ persandian suaranya menjadi ‘o’. Hal ini berkaitan dengan adanya yadnya/upacara “Penaung Bayu” di Pura Besakih, upacara yang bertujuan untuk memohon perlindungan terhadap Ida sang hyang Widhi Wasa agar memperoleh Kesejahteraan. Oleh karena itu, benar-benar wilayah desa Nongan gemah ripah loh jinawi menyebabkan warga desanya aman dan tentram di Desa Nongan.

Pendapat lain dari tim Balai Arkeologi Denpasar pada tahun 1994-1995 saat mempelajari prasasti berbahasa Jawa Kuno yang ada di merajan Agung Banjar Sekar Desa Nongan yaitu prasasti 553 ‘Landih A’ yang juga disebut ‘Nongan A’ yang dicetuskan oleh raja Jaya saka tahun saka 1055-1073,  dan prasasti ‘Landih B’ yang dicetuskan oleh Raja Jaya Pangus tahun saka 1103 menjelaskan tentang warga Desa Nongan. Diawali dari silsilah beberapa warga desa Landih Kabupaten Bangli dikarenakan ada perubahan, lalu pergi dan menemukan wilayah kosong, sepi tak berpenghuni.  Dikarenakan tempat tersebut sangat gemah ripah , maka semua bermukim dan membangun tempat tinggal baru. Untuk memperingati tentang wilayah disana, lalu disetujui wilayah tersebut dinamai Nongan.

Banyak masyarakat yang menyatakan bahwa silsilah desa Nongan berkaitan dengan kisah Mayadenawa. Dikatakan saat Mayadenawa menguasai gunung Tohlangkir atau Gunung Agung, ada peperangan antara patih-patih Mayadenawa dengan patih-patih para dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra. Peperangan ini disebabkan karena Mayadenawa tidak mengizinkan rakyat Bali membuat upacara Agama dan menghaturkan sembah kepada para dewata. Peperangannya terdahulu terjadi di bagian tenggara bawah Gunung Agung  yang sekarang disebut dengan Batu Sesa. Peperangannya berlangsung sangat lama sampai berpindah ke bagian barat dan tempat tersebut dinamai Peringalot. Prajurit Mayadenawa menyerah lalu berlari ke bagian selatan. Dikarenakan semua kelelahan, peperangan pun diakhiri. Akhirnya keadaan menjadi sepi, tenang, dan kosong. Untuk memperingati keadaan sepi dan tenang, masyarakat lalu memberi nama tempat tersebut untuk dijadikan nama desa, yaitu Nongan.

Desa pakraman ini dibagun atas dasar Ikhlas, Musyawarah mufakat, suka, duka selalu bersama (segilik seguluk salunglung sabayantaka) oleh warga dari 15 banjar adat masing-masing sebagai penyungsung (pemikul beban) 3 pura dalem yaitu pura dalem segah, pura dalem kupa, dan Pura Dalem Nongan. Pura Dalem Segah  disungsung oleh 2 Banjar adat yaitu Br Segah Kaja dan Br. Segah Kelod. Pura dalem Kupa disungsung oleh 4 banjar adat yaitu Banjar Manggaan, Ambengan, Pande dan Bujaga. Dan Pura dalem Nongan disungsung oleh oleh 9 banjar adat, yaitu Banjar Nonga Kaler, banjar Bucu, Bukian, Sekar, Sigar, Tengah, Saren Kaler, Saren Tengah, dan Saren Kelod.

Saat ini, secara dinas, desa Nongan terdiri dari 14 Banjar adat yaitu Segah Kaja, Segah Kelod, Manggan, Ambengan, Pande, Bujaga, Nongan Kaler, Bucu, Bukian, Sekar, Sigar, Tengah, Saren Kaler, Saren Tengah dan Saren Kelod. Namun secara Adat, Banjar Segah Kaja dan Segah Kelod berada di luar Desa Pakeraman Nongan.